LAPORANQ
- PENDAHULUAN
- Latar Belakang
- Tujuan dan Kegunaan
- TINJAUAN PUSTAKA
- Deskripsi Bambu Petung (Dendrocalamus asper)
- Klasifikasi
- Morfologi
- Sifat Anatomi Bambu
- Kadar air bambu
- Berat jenis bambu
- Keawetan Bambu dan Pengawetan Bambu
- Boraks
- Rayap Tanah
- METODOLOGI PRAKTIKUM
- Waktu dan Tempat
- Bahan dan Alat
- Prosedur Pelaksanaan
- Menggambil bambu petung bagian pangkal lalu potong dengan ukuran 10 x 5 cm sebanyak 3 potong
- Mengupas kulit bambu serta memberikan kode pada bambu
- Menimbang berat basah dan kadar air bambu.
- Dikeringkan didalam oven selama 1 jam dengan suhu 60 ͦ C
- Menimbang kembali berat kering lalu di rendam kedalam larutan borax selama 30 menit.
- Menimbang kembali berat basah dengan besar T2 10 %, T3 20 %, T4 30 % dan T5 40 %.
- Menyimpan ditempat rayap selama 1 minggu.
- Analisis Data
- HASIL DAN PEMBAHASAN
- Hasil
- Pembahasan
- PENUTUP
- Kesimpulan
- Saran
Bambu merupakan salah satu dari beberapa material/bahan
konstruksi yang sudah cukup lama dikenal di masyarakat. Penggunaan bambu
sebagai salah satu unsur bahan bangunan selama ini masih bersifat sekunder,
yaitu untuk kepentingan pembuatan perancah/ bekisting, reng atap dan terbatas
pada keperluan furniture. Hal ini
memang disebabkan oleh masih minimnya pengetahuan masyarakat tentang
sifat-sifat mekanik bambu. Sementara, ketersediaan bambu cukup banyak, mudah
didapat, selain harganya relatif murah, sehingga sangat dimungkinkan untuk
menjadi alternatifselain kayu dalam penggunaan material strukturbangunan.
selain kayu dalam penggunaan material strukturbangunan. Budidaya bambu juga
cukup mudah,selain faktor kekuatan yang cukup, menjadikan bambu memiliki
potensi semakin besar untuk dijadikan sebagai bahan bangunan.
Oleh karenaitu, perlu adanya pengetahuan yang cukup baik
mengenai bambu terhadap kekuatan mekanik dan fisiknya, karena selain
keunggulan tersebut, bambu memiliki kekurangan, yaitu mudah sekali karena
potensi secara alami adanya kandungan amylum yang
sangat disenangi oleh kumbang bubuk tersebut.
Perkembangan teknologi pengolahan bahan bangunan pada saat
ini menuntut adanya pengetahuan yang dapat atau mampu mengurangi kelemahan
dari sifat-sifat bahan bangunan tersebut. Sebagai bahan bangunan, bambu harus
diupayakan penanganannya, agar penggunaan bambu menjadi optimal. Metode
pengawetan diupayakan sebagai salah satu upaya untuk dapat meningkatkan
keawetan bambu dengan cara menghilangkan zat amylum
yang dikandung oleh bambu. Secara tradisional metode pengawetan telah
dilakukan oleh masyarakat kita yaitu dengan cara merendam dalam air, tetapi
cara ini membutuhkan waktu cukup lama, kurang lebih satu bulan. Prinsip yang
digunakan untuk pengawetan bambu adalah memasukkan zat racun yang dapat
mematikan serangga dan jamur. Oleh karena itu metode pengawetan yang dilakukan
adalah dengan menggunakan bahan-bahan pengawet yang lazim digunakan, sehingga
akan menjadi
lebih
efektif.
Faktor metode pengawetan dan bahan pengawet merupakan faktor
yang akan menjadi amatan karena berpengaruh terhadap proses pengawetan dan
tingkat keawetan dari bambu. Pada eksperimen ini menggunakan bahan pengawet
organik yang berasal dari daun mimba yang secara alami bersifat sebagai
pestisida.
Tujuan dilakukannya praktikum ini yaitu untuk
mengetahui efektifitas boraks sebagai bahan pengawet bambu.
Kegunaan dari praktikum ini yaitu dapat
mengetahui efektifitas boraks sebagai bahan pengawet bambu.
Di seluruh dunia terdapat 75 genus dan 1.500 spesies bambu.
Di Indonesia sendiri dikenal ada 10 genus bambu, antara lain: Arundinaria,
Bambusa, Dendrocalamus, Dinochloa, Gigantochloa, Melocanna, Nastus,
Phyllostachys, Schizostachyum, dan Thyrsostachys. Bambu tergolong keluarga
Gramineae (rumput-rumputan) disebut juga Hiant Grass (rumput raksasa),
berumpun dan terdiri dari sejumlah batang (buluh) yang tumbuh secara bertahap,
dari mulai rebung, batang muda dan sudah dewasa pada umur 3-4 tahun. Batang
bambu berbentuk silindris, berbuku-buku, beruas-ruas berongga, berdinding
keras, pada setiap buku terdapat mata tunas atau cabang (Otjo dan Atmadja ,
2006)
Kingdom :
Plantae (Tumbuhan)
Divisi : Magnoliophyta
(Tumbuhan berbunga)
Kelas : Liliopsida (Berkeping
satu / Monokotil)
Sub Kelas : Commelinidae
Ordo : Poales
Famili : Poaceae
(Suku rumput-rumputan)
Genus : Dendrocalamus
Spesies : Dendrocalamus
asper Backer
Bambu Petung (Dendrocalamus Asper) juga di kenal dengan nama
Bambusa Aspera Schultes, Dendrocalamus Flagelifer, Gigantochloa Aspera
Schultes, Dendrocalamus Merrilianus merupakan tanaman bambu yang memiliki
dinding tebal dan kokoh serta berdiameter dapat mencapai lebih dari 20 cm.
Bambu betung dapat tumbuh hingga mencapai tinggi lebih 25 meter dan terdiri
dari dua jenis, yaitu betung hijau dan betung hitam. Bambu betung ini dapat
dijumpai di daerah dataran rendah hingga dataran tinggi (2000 meter) dan tumbuh
subur pada lahan yang basah dengan daerah penyebarannya ada di Pulau Jawa,
Sumatera, Sulawesi bahkan sampai ke kawasan timur Indonesia.
Tanaman
bambu yang sering kita kenal umumnya berbentuk rumpun. Padahal dapat pula
bambu tumbuh sebagai batang soliter atau perdu. Tanaman bambu yang tumbuh
subur di Indonesia merupakan tanaman bambuyang simpodial, yaitu
batang-batangnya cenderung mengumpul didalam rumpun karena percabangan
rhizomnya di dalam tanah cenderung mengumpul (Agus dkk. 2006). Batang
bambuyang lebih tua berada di tengah rumpun, sehingga kurang menguntungkan
dalam proses penebanganny.
Batang-batang bambu muncul dari akar-akar rimpang yang
menjalar dibawah lantai. Batang-batang yang sudah tua keras dan umumnya
berongga, berbetuk silinder memanjang dan terbagi dalam ruas-ruas. Tinggi
tanaman bambu sekitar 0,3 m sampai 30 m. Diameter batangnya 0,25-25 cm dan
ketebalan dindingnya sampai 25 mm. Pada bagian tanaman terdapat organ-organ
daun yang menyelimuti batang yang disebut dengan pelepah batang. Biasanya pada
batang yang sudah tua pelepah batangnya mudah gugur. Pada ujung pelepah batang
terdapat perpanjangan tambahan yang berbetuk segitiga dan disebut subang yang
biasanya gugur lebih dulu (Widjaja, 2001).
Sifat anatomi berpengaruh terhadapsifat fisika dan sifat
mekanika bambu.Batang bambu terdiri dari 50 %parenkim, 40 % serat, dan 10
%jaringan penyalur (pori dan saluranpembuluh) dengan variasi tergantungkepada
spesiesnya. Sel-sel parenkimdan pembuluh tapis sebagian besarterdapat pada 1/3
tebal batang bagiandalam, sedangkan serat terdapat pada1/3 tebal batang bagian
luar (Liese,1985 dalam Hidayati, 2008).
Bambu termasuk zat higroskopis, artinya bambu mempunyai
afinitas terhadap air, baik dalam bentuk uap maupun cairan. Kayu atau bambu
mempunyai kemampuan mengabsorpsi atau desorpsi yang tergantung dari suhu dan
kelembaban. Menurut Liese (dalam Pathurahman, 1998), kandungan air dalam
batang bambu bervariasi baik arah memanjang maupun arah melintang. Hal itu
tergantung dari umur, waktu penebangan dan jenis bambu. Pada umur satu tahun
batang bambu mempunyai kandungan air yang relatif tinggi, yaitu kurang lebih
120 hingga 130 %, baik pada pangkal maupun ujungnya. Pada bagian ruas,
kandungan air lebih rendah daripada bagian nodia. Kadar air dinyatakan sebagai
kandungan air yang berada dalam bambu.
Berat jenis dan kerapatan kayu atau bambu merupakan
faktor-faktor yang akan menentukan sifat-sifat fisikanya dan mekanika. Menurut
Liese (dalam Samsudin, 1997) berat jenis bambu berkisar antara 0,5 sampai 0,9
gr tiap centimeter kubik. Variasi berat jenis bambu terjadi baik pada arah
vertikal maupunhorizontal. Batang bambu bagian luar mempunyai berat jenis
lebih tinggi daripada bagian dalam. Sedangkan dalam arah memanjang, berat
jenis meningkat dari pangkal ke ujung. Berat jenis mempunyai hubungan terbalik
dengan kadar air. Semakin tinggi berat jenis
bambu, semakin kecil kadar airnya.
Keawetan bambu adalah daya tahan bambu terhadap berbagai
faktor perusak bambu, misalnya ketahanan bambu terhadap serangan rayap, bubuk
kayu kering, dan jamur perusak bambu (Tim ELSPPAT, 2000). Penyebab kerusakan
bambu bersifat biologis dan non biologis. Penyebab kerusakan bambu non
biologis yang terpenting adalah kadar air. Kadar air yang tinggi menyebabkan
kekuatan bambu menurun dan mudah lapuk. Penyeba kerusakan bambu biologis adala
adalah rayap, kumbang bubuk, dan jamur, beberapa di antaranya adalah jamur Schizophlyllum cummune, Auricalria sp; Pleurotus sp; Strureum sp; dan Poria incrssata sp. Kumbang bubuk hidup dalam
jaringan serat bambu dan kumbang jenis ini mengambil sari makanan yaitu pati.
Oleh karena itu prinsip pengawetan bambu adalah mengeluarkan zat pati yang
menjadikan kumbang bubuk hidup dan berkembang.
Pengawetan bambu dilakukan dengan tujuan menaikkan umur
pakai dan meningkatkan nilai ekonomisnya. Padlinurjaji (1980) menyatakan bahwa
tujuan pengawetan bambu adalah untuk mempertahankan mutu sebagai bahan baku
serta untuk mempertinggi mutu hasil produksi yaitu meningkatkan daya tahan
bambu terhadap kemungkinan kerusakan biologis. Berikut ini adalah beberapa
cara pengawetan bambu:
1. Non
kimia, meliputi perendaman yaitu
memasukkan bambu kedalam air dengan tujuan untuk mencegah
serangan kumbang bubuk pada bambu, pemanasan yaitu perebusan bambu pada suhu
100° C selama 1 jam cukup efektif untuk mengurangi serangan kumbang bubuk, pressure-treatment atau lebih dikenal dengan
cara penekanan pada bambu kering yaitu bambu kering diberi lubang lubang dalam
ruas-ruasnya, untuk menghindarkan pecahnya bambu tersebut oleh tekanan yang
dipompakan kedalam tangki
pengawetan.
2.
Pengawetan kimia, meliputi metode
pengawetan minyak solar yaitu metode pengawetan bambu dengan
cara bambu nsegar yang baru ditebang didirikan terbalik ujung bambu sebelah
atas dipasang tabung diisi minyak solar yang secara gravitasi akan mendesak
keluar cairan yang terkandung dalam bambu, metode pengawetan dengan mengunakan
boraks yaitu seperti pada cara penggunaan minyak solar hanya saja bahan
pengawetnya diganti dengan boraks. seperti yang telah dilakukan Yayasan Bambu
Lingkungan Lestari (YBLL) Universitas Mataram.
Boraks adalah senyawa dengan nama Natrium Tetraborat (Na2B4O7) yang mengandung tidak kurang dari
99 % dan tidak lebih 105,0 % Na2B4O7.10H2O dengan sifat: hablur transparan,
tidak berbau, warna putih sangat sedikit larut dalam air dingin tetapi lebih
larut dalam air panas. Besar daya pengawet mungkin disebabkan senyawa aktif
asam borat. Senyawa borat ini dikenal sebagai bahan yang mampu membunuh
bakteri pembusuk, walaupun belum ada penelitian yang khusus mengemukakan hal
tersebut (Yuliana, 2002). Sebagai alternatif pengganti kayu, bambu mempunyai
banyak keunggulan, tetapi perlu dijadikan perhatian bahwa bambu juga mempunyai
beberapa kendala di antaranya adalah bambu mudah terkena serangan kumbang
bubuk sehingga menyebabkan bambu menjadi tidak awet. Kerusakan bambu dapat
juga diakibatkan oleh jamur maupun serangga, yang menjadikan bambu sebagai
sumber makanan dan tempat berkembangbiak. Karena itu, upaya menjadikan bambu
tahan terhadap serangga atau jamur dengan memberikan bahan pengawet berupa
racun yang dapat mematikan serangga dan jamur secara permanen, mudah meresap,
tidak membahayakan manusia dan hewan, tidak merusak bambu, tersedia dalam
jumlah banyak serta murah. Boraks digunakan untuk mengawetkan bambu sebagai
pengganti zat pati yang ada dalam rongga sel bambu dengan metode pemanfaatan
gravitasi. Teori yang mengemukakan bahwa penurunan kandungan pati juga akan
mengakibatkan penurunan sifat mekanik bambu, maka penambahan konsentrasi
larutan boraks terhadap bambu dimungkinkan berpengaruh terhadap sifat mekanik
bambu. Berdasarkan hasil ulasan tersebut maka Hipotesis yang dinyatakan adalah
bahwa ada perbedaan kekuatan mekanik bambu yang diberi bahan pengawet
dibandingkan dengan bambu yang tidak diberi bahan pengawet.
Rayap adalah serangga kecil, sepintas lalu mirip
dengan semut, dijumpai di banyak tempat, di hutan, pekarangan, kebun, dan
bahkan di dalam rumah. Sarang rayap terdapat di tempat lembab di dalam tanah
dan batang kayu basah, tetapi ada juga yang hidup di dalam kayu kering.
Makanan utamanya adalah kayu dan bahan-bahan dari selulosa lain serta jamur
(Amir, 2003 dalam Handru dkk, 2012).
Rayap merupakan serangga pemakan kayu (xylophagus) atau bahan-bahan yang terdiri
dari selulosa; di negara-negara sub tropis jenis kayu seperti pinus, maple dan
sugi merupakan kesukaannya (Bignell et
al. 2000 dalam Subekti, 2012). Kayu yang lapuk sangat mudah dimakan rayap
namun kayu sehat pun sangat disukai. Rayap banyak memakan kayu yang sedang
dalam proses pelapukan akibat meningkatnya kelembaban. Oleh karena itu,
kerusakan kayu oleh rayap erat hubungannya dengan pelapukan kayu oleh jamur.
Taman jamur (fungus garden) diperlukan
sebagai sumber protein dan vitamin bagi rayap tanah M. gilvus. Hal ini merupakan simbiosis mutualisme antara rayap
dan jamur (Korb dan Aanen 2003 dalam Subekti, 2012).
Kebanyakan rayap tanah dapat makan kayu sebanyak
2-3% dari berat badannya setiap hari. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi
rayap adalah keadaan lingkungan, ukuran badan dan besar kecilnya koloni.
Rata-rata besar koloni rayap tanah di daerah sub tropis adalah 60-350 ribu
ekor rayap pekerja. Jenis rayap genus Coptotermes paling cepat menghabiskan
makanan dibandingkan dengan genus lain. Jenis ini memerlukan kayu sebanyak
5-31 g dalam waktu 19 hari (Lee et al. 2002 dalam Subekti, 2012).
Praktikum di laksanakan pada hari Sabtu tanggal,
8 November 2014 pukul 08.00 WITA sampai selesai, bertempat di Laboratorium
Kehutanan Jurusan Kehutan Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan Universitas
Halu Oleo.
Bahan yang digunakan dalam
pelaksanaan praktikum ini adalah bambu petung (Dendrocalamus asper), larutan Boraks,
dan air.
Alat yang digunakan dalam pelaksanaan praktikum
ini adalah parang, gergaji, wood moisture meter, timbangan analitik, oven,
kamera, meter, gelas kimia dan alat tulis menulis.
Prosedur pelaksanaan yang dilakukan dalam
praktikum ini adalah :
Retensi teoritis = Absorsi x kosentrasi larutan
Adapun hasil dari praktikum ini dapat dilihat pada tabel
berikut ini.
Tabel. Menimbang
kadar air, berat basah awal Bambu petung
(Dendrocalamus Asper)
No.
|
Perlakuan
|
BB (gr)
|
BKU 1
|
KA %
|
BB sa
(gr)
|
BKU 2
|
1
|
Konrol
|
77,88
|
74,99
|
3,85
|
74,99
|
72,56
|
2
|
T1
|
78,84
|
76,56
|
2,97
|
79,18
|
78,01
|
3
|
T2
|
87,43
|
84,93
|
2,94
|
87,76
|
86,15
|
Tabel 2. Absorbsi dan Retensi
Bahan Pengawet Pada Bambu petung
(Dendrocalamus Asper)
No
|
Kode
|
Absorbsi
|
Retensi Teoritis
|
Retensi Aktual
|
1.
|
T1
|
0,194
|
139,86
|
0,49
|
2.
|
T2
|
0,262
|
337,28
|
0,224
|
Dalam peraktikum ini bambu yang digunakan adalah jenis bambu petung pada bagian pangkal yang sudah berumur
dua tahun. Pemilihan jenis bambu dan bagian bambu yang
digunakan dipengaruhi oleh faktor kerentanan bambu terhadap rayap dan juga
tingkat kadar air dan kandungan pati yang dimiliki oleh bagian tersebut.
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan pada
praktikum ini, pengujian bahan dan pengawetan bambu meliputi pemeriksaan kadar
air, berat kering tanur, dan berat basah.
Bambu tersebut kemudian dibuat
dalam bentuk bilah dengan ukuran panjang 10 cm, lebar 5 cm dan tebal bilah
menyesuaikan tebal bambunya. Bambu bilah yang digunakan adalah bambu bagian
dalam yaitu bambu bilah yang sudah dibuang bagian kulit terluar.
Pada tahapan
awal dalam proses pengawetan bambu, terlebih dahulu sampel bambu dikeringkan untuk menurunkan kadar air bambu sehingga
dalam proses pengawetan akan mempermudah penyerapan zat yang terdapat pada boraks. Selain
itu, proses pengeringan bambu dimaksudkan untuk menjaga stabilisasi dimensi bambu, perbaikan warna permukaan, juga
untuk pelindung terhadap serangan jamur, bubuk basah dan memudahkan dalam
pengerjaan lebih lanjut. Dalam pengeringan
bambu dilaksanakan
secara hati-hati, karena apabila dilaksanakan terlalu cepat (suhu tinggi
dengan kelembaban rendah) atau suhu dan kelembaban yang terlalu berfluktuasi
akan mengakibatkan bambu menjadi pecah, kulit mengelupas, dan kerusakan lainnya. Sebaliknya
bila kondisi pengeringan yang terlalu lambat akan menyebabkan bambu menjadi lama mengering,
bulukan dan warnanya tidak cerah atau menjadi gelap.
Sehingga pada tahap ini, bambu dikeringkan dengan
menggunakan oven selama kurang lebih 1 jam dengan kenaikan suhu yang bertahap hingga mencapai 600C.
Selanjutnya pada proses pengawetan bambu dilakukan dengan cara manual dan tidak
menggunakan proses fabrikasi. Dimana cara yang dilakukan masih sangat
konvensional yaitu dengan cara perendaman yang
dilakukan selama 1 jam sehingga tidak perlu menggunakan
peralatan khusus yang membutuhkan peralatan yang menghasilkan polusi seperti
mesin atau lain sebagainya. Selain itu boraks yang dijadikan larutan dalam
perendaman ini juga terserap oleh bambu sehingga pada saat air rendaman itu
dibuang kandungan boraks sudah sangat sedikit karena telah diserap oleh bambu.
Berdasarakan hasil pengujian keawetan bambu
menunjukkan hasil yang berbeda antara bambu yang telah diawetkan (T1, dan T2),
yang dapat dilihat pada tabel 2 diamana absorbsi yang terdapat pada bambu (T2)
dalam hal ini jumlah larutan bahan pengawet yang meresap kedalam bambu lebih
besar jika dibandingkan dengan bambu (T1). Dengan demikian semakin banyak
larutan bahan pengawet yang meresap kedalam bambu maka penggunaan masa pakai
bambu lebih panjang.
Kesimpulan dari hasil pengamatan yang telah dilakukan pada
praktikum pengawetan bambu menggunakan bahan pengawet boraks adalah bambu yang
diberi bahan pengawet dengan kosentrasi larutan yang berbeda-beda mempunyai
daya tahan terhadap serangan rayap tanah dibanding dengan bambu yang tidak
memiliki bahan pengawet mudah di serang rayap dan kekuatan daya tahan terhadap
serangan rayap sangat rendah. Semakin tinggi tingkat bahan pengawet yang di
berikan mka semakin kuat daya ketahanan benda uji pada serangan rayap tanah.
Saran yang dapat disampaikan pada praktikum ini yaitu
sebaiknya pengujian rayap untuk lebih lanjut untuk mendapatkan hasil yang
lebih optimal maka perlu dilkukan pengujian lain misalnya pengawetan
menggunakan bahan pengawet alami.
DAFTAR PUSTAKA
Handru, A, Herwina, H, dan Dahelmi. 2012. Jenis-jenis
Rayap (Isoptera) di Kawasan Hutan Bukit Tengah Pulau dan Areal Perkebunan
Kelapa Sawit, Solok Selatan.
Laboratorium Riset Taksonomi Hewan, Jurusan Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas. Padang.
Hidayati,
Dyah Yoga. 2008. Pengaruh Pengawetan dengan
CCB4 konsentrasi 5% , 10 % , 15 % terhadap Kekuatan Tarik, Lentur, Geser dan
Kadar Air Bambu Legi. Tugas Akhir pada Jurusan Teknik Sipil dan
Lingkungan UGM.
Krisdianto, G. Sumarni dan A. Ismanto. 2000. Sari Hasil
Penelitian Bambu. Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
Liese, W & Satish, K., (2003), Bamboo Preservation Compendium, Indian Bamboo
Resource and Technology
Pathurahman. (1998), Aplikasi
Bambu pada Struktur Gable Frame. Fakultas Teknik, Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta.
Setyawati, P., (2008), Pengaruh
Ekstrak Tembakau Terhadap Sifat dan Perilaku Mekanik Laminasi Bambu,
Tesis, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Subekti, N., 2012. Biodeteriorasi
kayu pinus (Pinus merkusii) oleh rayap tanah Macrotermes gilvus Hagen
(Blattodea: Termitidae). Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Negeri
Semarang. Semarang.
Supriadi, D., (2001), Ketersediaan
Bambu sebagai Bahan Baku Industri dan Kerajinan, Seminar Meningkatkan
Nilai Komersial Bambu dan Potensi Pasokannya. 34 Tahun LIPI, Jakarta.
Wijaya,
Florentinus Rendriarta. 2003. Pengaruh
Pengawetan dengan Metode Perendaman dalam Larutan Prusi terhadap Karakteristik
Bambu Ampel (Bambusa vulgaris Schrad ). Tugas Akhir pada Jurusan Teknik
Sipil dan Lingkungan UGM.
Yuliana,
Tri. 2002. Analisa Kadar Boraks dalam Mie
Basah dan Mie Kering dengan Indikator Kurkumin Menggunakan Analisa Volumetri. Skripsi
tidak diterbitkan. FMIPA, UNNES,
Semarang.
Yuliana,
Tri. 2002. Analisa Kadar Boraks dalam Mie
Basah dan Mie Kering dengan Indikator Kurkumin Menggunakan Analisa Volumetri. Skripsi
tidak diterbitkan. FMIPA, UNNES,
Semarang.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda