Rabu, 07 Januari 2015

LAPORANQ



    1. PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
  2. Bambu merupakan salah satu dari beberapa material/bahan konstruksi yang sudah cukup lama dikenal di masyarakat. Penggunaan bambu sebagai salah satu unsur bahan bangunan selama ini masih bersifat sekunder, yaitu untuk kepentingan pembuatan perancah/ bekisting, reng atap dan terbatas pada keperluan furniture. Hal ini memang disebabkan oleh masih minimnya pengetahuan masyarakat tentang sifat-sifat mekanik bambu. Sementara, ketersediaan bambu cukup banyak, mudah didapat, selain harganya relatif murah, sehingga sangat dimungkinkan untuk menjadi alternatifselain kayu dalam penggunaan material strukturbangunan. selain kayu dalam penggunaan material strukturbangunan. Budidaya bambu juga cukup mudah,selain faktor kekuatan yang cukup, menjadikan bambu memiliki potensi semakin besar untuk dijadikan sebagai bahan bangunan.
    Oleh karenaitu, perlu adanya pengetahuan yang cukup baik mengenai bambu terhadap kekuatan mekanik dan fisiknya, karena selain keunggulan tersebut, bambu memiliki kekurangan, yaitu mudah sekali karena potensi secara alami adanya kandungan amylum yang sangat disenangi oleh kumbang bubuk tersebut.
    Perkembangan teknologi pengolahan bahan bangunan pada saat ini menuntut adanya pengetahuan yang dapat atau mampu mengurangi kelemahan dari sifat-sifat bahan bangunan tersebut. Sebagai bahan bangunan, bambu harus diupayakan penanganannya, agar penggunaan bambu menjadi optimal. Metode pengawetan diupayakan sebagai salah satu upaya untuk dapat meningkatkan keawetan bambu dengan cara menghilangkan zat amylum yang dikandung oleh bambu. Secara tradisional metode pengawetan telah dilakukan oleh masyarakat kita yaitu dengan cara merendam dalam air, tetapi cara ini membutuhkan waktu cukup lama, kurang lebih satu bulan. Prinsip yang digunakan untuk pengawetan bambu adalah memasukkan zat racun yang dapat mematikan serangga dan jamur. Oleh karena itu metode pengawetan yang dilakukan adalah dengan menggunakan bahan-bahan pengawet yang lazim digunakan, sehingga akan menjadi
    lebih efektif.
    Faktor metode pengawetan dan bahan pengawet merupakan faktor yang akan menjadi amatan karena berpengaruh terhadap proses pengawetan dan tingkat keawetan dari bambu. Pada eksperimen ini menggunakan bahan pengawet organik yang berasal dari daun mimba yang secara alami bersifat sebagai pestisida.
  3. Tujuan dan Kegunaan
  4. Tujuan dilakukannya praktikum ini yaitu untuk mengetahui efektifitas boraks sebagai bahan pengawet bambu.
    Kegunaan dari praktikum ini yaitu dapat mengetahui efektifitas boraks sebagai bahan pengawet bambu.



    1. TINJAUAN PUSTAKA
  5. Deskripsi Bambu Petung (Dendrocalamus asper)
  6. Klasifikasi
  7. Di seluruh dunia terdapat 75 genus dan 1.500 spesies bambu. Di Indonesia sendiri dikenal ada 10 genus bambu, antara lain: Arundinaria, Bambusa, Dendrocalamus, Dinochloa, Gigantochloa, Melocanna, Nastus, Phyllostachys, Schizostachyum, dan Thyrsostachys. Bambu tergolong keluarga Gramineae (rumput-rumputan) disebut juga Hiant Grass (rumput raksasa), berumpun dan terdiri dari sejumlah batang (buluh) yang tumbuh secara bertahap, dari mulai rebung, batang muda dan sudah dewasa pada umur 3-4 tahun. Batang bambu berbentuk silindris, berbuku-buku, beruas-ruas berongga, berdinding keras, pada setiap buku terdapat mata tunas atau cabang (Otjo dan Atmadja , 2006)
    Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
    Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
    Kelas : Liliopsida (Berkeping satu / Monokotil)
    Sub Kelas : Commelinidae
    Ordo : Poales
    Famili : Poaceae (Suku rumput-rumputan)
    Genus : Dendrocalamus
    Spesies : Dendrocalamus asper Backer
    Bambu Petung (Dendrocalamus Asper) juga di kenal dengan nama Bambusa Aspera Schultes, Dendrocalamus Flagelifer, Gigantochloa Aspera Schultes, Dendrocalamus Merrilianus merupakan tanaman bambu yang memiliki dinding tebal dan kokoh serta berdiameter dapat mencapai lebih dari 20 cm. Bambu betung dapat tumbuh hingga mencapai tinggi lebih 25 meter dan terdiri dari dua jenis, yaitu betung hijau dan betung hitam. Bambu betung ini dapat dijumpai di daerah dataran rendah hingga dataran tinggi (2000 meter) dan tumbuh subur pada lahan yang basah dengan daerah penyebarannya ada di Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi bahkan sampai ke kawasan timur Indonesia.
    Tanaman bambu yang sering kita kenal umumnya berbentuk rumpun. Padahal dapat pula bambu tumbuh sebagai batang soliter atau perdu. Tanaman bambu yang tumbuh subur di Indonesia merupakan tanaman bambuyang simpodial, yaitu batang-batangnya cenderung mengumpul didalam rumpun karena percabangan rhizomnya di dalam tanah cenderung mengumpul (Agus dkk. 2006). Batang bambuyang lebih tua berada di tengah rumpun, sehingga kurang menguntungkan dalam proses penebanganny.
  8. Morfologi
  9. Batang-batang bambu muncul dari akar-akar rimpang yang menjalar dibawah lantai. Batang-batang yang sudah tua keras dan umumnya berongga, berbetuk silinder memanjang dan terbagi dalam ruas-ruas. Tinggi tanaman bambu sekitar 0,3 m sampai 30 m. Diameter batangnya 0,25-25 cm dan ketebalan dindingnya sampai 25 mm. Pada bagian tanaman terdapat organ-organ daun yang menyelimuti batang yang disebut dengan pelepah batang. Biasanya pada batang yang sudah tua pelepah batangnya mudah gugur. Pada ujung pelepah batang terdapat perpanjangan tambahan yang berbetuk segitiga dan disebut subang yang biasanya gugur lebih dulu (Widjaja, 2001).
  10. Sifat Anatomi Bambu
  11. Sifat anatomi berpengaruh terhadapsifat fisika dan sifat mekanika bambu.Batang bambu terdiri dari 50 %parenkim, 40 % serat, dan 10 %jaringan penyalur (pori dan saluranpembuluh) dengan variasi tergantungkepada spesiesnya. Sel-sel parenkimdan pembuluh tapis sebagian besarterdapat pada 1/3 tebal batang bagiandalam, sedangkan serat terdapat pada1/3 tebal batang bagian luar (Liese,1985 dalam Hidayati, 2008).
  12. Kadar air bambu
  13. Bambu termasuk zat higroskopis, artinya bambu mempunyai afinitas terhadap air, baik dalam bentuk uap maupun cairan. Kayu atau bambu mempunyai kemampuan mengabsorpsi atau desorpsi yang tergantung dari suhu dan kelembaban. Menurut Liese (dalam Pathurahman, 1998), kandungan air dalam batang bambu bervariasi baik arah memanjang maupun arah melintang. Hal itu tergantung dari umur, waktu penebangan dan jenis bambu. Pada umur satu tahun batang bambu mempunyai kandungan air yang relatif tinggi, yaitu kurang lebih 120 hingga 130 %, baik pada pangkal maupun ujungnya. Pada bagian ruas, kandungan air lebih rendah daripada bagian nodia. Kadar air dinyatakan sebagai kandungan air yang berada dalam bambu.
  14. Berat jenis bambu
  15. Berat jenis dan kerapatan kayu atau bambu merupakan faktor-faktor yang akan menentukan sifat-sifat fisikanya dan mekanika. Menurut Liese (dalam Samsudin, 1997) berat jenis bambu berkisar antara 0,5 sampai 0,9 gr tiap centimeter kubik. Variasi berat jenis bambu terjadi baik pada arah vertikal maupunhorizontal. Batang bambu bagian luar mempunyai berat jenis lebih tinggi daripada bagian dalam. Sedangkan dalam arah memanjang, berat jenis meningkat dari pangkal ke ujung. Berat jenis mempunyai hubungan terbalik dengan kadar air. Semakin tinggi berat jenis bambu, semakin kecil kadar airnya.
  16. Keawetan Bambu dan Pengawetan Bambu
  17. Keawetan bambu adalah daya tahan bambu terhadap berbagai faktor perusak bambu, misalnya ketahanan bambu terhadap serangan rayap, bubuk kayu kering, dan jamur perusak bambu (Tim ELSPPAT, 2000). Penyebab kerusakan bambu bersifat biologis dan non biologis. Penyebab kerusakan bambu non biologis yang terpenting adalah kadar air. Kadar air yang tinggi menyebabkan kekuatan bambu menurun dan mudah lapuk. Penyeba kerusakan bambu biologis adala adalah rayap, kumbang bubuk, dan jamur, beberapa di antaranya adalah jamur Schizophlyllum cummune, Auricalria sp; Pleurotus sp; Strureum sp; dan Poria incrssata sp. Kumbang bubuk hidup dalam jaringan serat bambu dan kumbang jenis ini mengambil sari makanan yaitu pati. Oleh karena itu prinsip pengawetan bambu adalah mengeluarkan zat pati yang menjadikan kumbang bubuk hidup dan berkembang.
    Pengawetan bambu dilakukan dengan tujuan menaikkan umur pakai dan meningkatkan nilai ekonomisnya. Padlinurjaji (1980) menyatakan bahwa tujuan pengawetan bambu adalah untuk mempertahankan mutu sebagai bahan baku serta untuk mempertinggi mutu hasil produksi yaitu meningkatkan daya tahan bambu terhadap kemungkinan kerusakan biologis. Berikut ini adalah beberapa cara pengawetan bambu:
    1. Non kimia, meliputi perendaman yaitu
    memasukkan bambu kedalam air dengan tujuan untuk mencegah serangan kumbang bubuk pada bambu, pemanasan yaitu perebusan bambu pada suhu 100° C selama 1 jam cukup efektif untuk mengurangi serangan kumbang bubuk, pressure-treatment atau lebih dikenal dengan cara penekanan pada bambu kering yaitu bambu kering diberi lubang lubang dalam ruas-ruasnya, untuk menghindarkan pecahnya bambu tersebut oleh tekanan yang dipompakan kedalam tangki
    pengawetan.
    2. Pengawetan kimia, meliputi metode
    pengawetan minyak solar yaitu metode pengawetan bambu dengan cara bambu nsegar yang baru ditebang didirikan terbalik ujung bambu sebelah atas dipasang tabung diisi minyak solar yang secara gravitasi akan mendesak keluar cairan yang terkandung dalam bambu, metode pengawetan dengan mengunakan boraks yaitu seperti pada cara penggunaan minyak solar hanya saja bahan pengawetnya diganti dengan boraks. seperti yang telah dilakukan Yayasan Bambu Lingkungan Lestari (YBLL) Universitas Mataram.
  18. Boraks
  19. Boraks adalah senyawa dengan nama Natrium Tetraborat (Na2B4O7) yang mengandung tidak kurang dari 99 % dan tidak lebih 105,0 % Na2B4O7.10H2O dengan sifat: hablur transparan, tidak berbau, warna putih sangat sedikit larut dalam air dingin tetapi lebih larut dalam air panas. Besar daya pengawet mungkin disebabkan senyawa aktif asam borat. Senyawa borat ini dikenal sebagai bahan yang mampu membunuh bakteri pembusuk, walaupun belum ada penelitian yang khusus mengemukakan hal tersebut (Yuliana, 2002). Sebagai alternatif pengganti kayu, bambu mempunyai banyak keunggulan, tetapi perlu dijadikan perhatian bahwa bambu juga mempunyai beberapa kendala di antaranya adalah bambu mudah terkena serangan kumbang bubuk sehingga menyebabkan bambu menjadi tidak awet. Kerusakan bambu dapat juga diakibatkan oleh jamur maupun serangga, yang menjadikan bambu sebagai sumber makanan dan tempat berkembangbiak. Karena itu, upaya menjadikan bambu tahan terhadap serangga atau jamur dengan memberikan bahan pengawet berupa racun yang dapat mematikan serangga dan jamur secara permanen, mudah meresap, tidak membahayakan manusia dan hewan, tidak merusak bambu, tersedia dalam jumlah banyak serta murah. Boraks digunakan untuk mengawetkan bambu sebagai pengganti zat pati yang ada dalam rongga sel bambu dengan metode pemanfaatan gravitasi. Teori yang mengemukakan bahwa penurunan kandungan pati juga akan mengakibatkan penurunan sifat mekanik bambu, maka penambahan konsentrasi larutan boraks terhadap bambu dimungkinkan berpengaruh terhadap sifat mekanik bambu. Berdasarkan hasil ulasan tersebut maka Hipotesis yang dinyatakan adalah bahwa ada perbedaan kekuatan mekanik bambu yang diberi bahan pengawet dibandingkan dengan bambu yang tidak diberi bahan pengawet.
  20. Rayap Tanah
  21. Rayap adalah serangga kecil, sepintas lalu mirip dengan semut, dijumpai di banyak tempat, di hutan, pekarangan, kebun, dan bahkan di dalam rumah. Sarang rayap terdapat di tempat lembab di dalam tanah dan batang kayu basah, tetapi ada juga yang hidup di dalam kayu kering. Makanan utamanya adalah kayu dan bahan-bahan dari selulosa lain serta jamur (Amir, 2003 dalam Handru dkk, 2012).
    Rayap merupakan serangga pemakan kayu (xylophagus) atau bahan-bahan yang terdiri dari selulosa; di negara-negara sub tropis jenis kayu seperti pinus, maple dan sugi merupakan kesukaannya (Bignell et al. 2000 dalam Subekti, 2012). Kayu yang lapuk sangat mudah dimakan rayap namun kayu sehat pun sangat disukai. Rayap banyak memakan kayu yang sedang dalam proses pelapukan akibat meningkatnya kelembaban. Oleh karena itu, kerusakan kayu oleh rayap erat hubungannya dengan pelapukan kayu oleh jamur. Taman jamur (fungus garden) diperlukan sebagai sumber protein dan vitamin bagi rayap tanah M. gilvus. Hal ini merupakan simbiosis mutualisme antara rayap dan jamur (Korb dan Aanen 2003 dalam Subekti, 2012).
    Kebanyakan rayap tanah dapat makan kayu sebanyak 2-3% dari berat badannya setiap hari. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi rayap adalah keadaan lingkungan, ukuran badan dan besar kecilnya koloni. Rata-rata besar koloni rayap tanah di daerah sub tropis adalah 60-350 ribu ekor rayap pekerja. Jenis rayap genus Coptotermes paling cepat menghabiskan makanan dibandingkan dengan genus lain. Jenis ini memerlukan kayu sebanyak 5-31 g dalam waktu 19 hari (Lee et al. 2002 dalam Subekti, 2012).















    1. METODOLOGI PRAKTIKUM

  22. Waktu dan Tempat
  23. Praktikum di laksanakan pada hari Sabtu tanggal, 8 November 2014 pukul 08.00 WITA sampai selesai, bertempat di Laboratorium Kehutanan Jurusan Kehutan Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan Universitas Halu Oleo.
  24. Bahan dan Alat
  25. Bahan yang digunakan dalam pelaksanaan praktikum ini adalah bambu petung (Dendrocalamus asper), larutan Boraks, dan air.
    Alat yang digunakan dalam pelaksanaan praktikum ini adalah parang, gergaji, wood moisture meter, timbangan analitik, oven, kamera, meter, gelas kimia dan alat tulis menulis.
  26. Prosedur Pelaksanaan
  27. Prosedur pelaksanaan yang dilakukan dalam praktikum ini adalah :
  28. Menggambil bambu petung bagian pangkal lalu potong dengan ukuran 10 x 5 cm sebanyak 3 potong
  29. Mengupas kulit bambu serta memberikan kode pada bambu
  30. Menimbang berat basah dan kadar air bambu.
  31. Dikeringkan didalam oven selama 1 jam dengan suhu 60 ͦ C
  32. Menimbang kembali berat kering lalu di rendam kedalam larutan borax selama 30 menit.
  33. Menimbang kembali berat basah dengan besar T2 10 %, T3 20 %, T4 30 % dan T5 40 %.
  34. Menyimpan ditempat rayap selama 1 minggu.
  35. Analisis Data

  36. Retensi teoritis = Absorsi x kosentrasi larutan










    1. HASIL DAN PEMBAHASAN

  37. Hasil
  38. Adapun hasil dari praktikum ini dapat dilihat pada tabel berikut ini.
    Tabel. Menimbang kadar air, berat basah awal Bambu petung
    (Dendrocalamus Asper)
    No.
    Perlakuan
    BB (gr)
    BKU 1
    KA %
    BB sa (gr)
    BKU 2
    1
    Konrol
    77,88
    74,99
    3,85
    74,99
    72,56
    2
    T1
    78,84
    76,56
    2,97
    79,18
    78,01
    3
    T2
    87,43
    84,93
    2,94
    87,76
    86,15

    Tabel 2. Absorbsi dan Retensi Bahan Pengawet Pada Bambu petung
    (Dendrocalamus Asper)
    No
    Kode
    Absorbsi
    Retensi Teoritis
    Retensi Aktual
    1.
    T1
    0,194
    139,86
    0,49
    2.
    T2
    0,262
    337,28
    0,224

  39. Pembahasan
  40. Dalam peraktikum ini bambu yang digunakan adalah jenis bambu petung pada bagian pangkal yang sudah berumur dua tahun. Pemilihan jenis bambu dan bagian bambu yang digunakan dipengaruhi oleh faktor kerentanan bambu terhadap rayap dan juga tingkat kadar air dan kandungan pati yang dimiliki oleh bagian tersebut.
    Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan pada praktikum ini, pengujian bahan dan pengawetan bambu meliputi pemeriksaan kadar air, berat kering tanur, dan berat basah.
    Bambu tersebut kemudian dibuat dalam bentuk bilah dengan ukuran panjang 10 cm, lebar 5 cm dan tebal bilah menyesuaikan tebal bambunya. Bambu bilah yang digunakan adalah bambu bagian dalam yaitu bambu bilah yang sudah dibuang bagian kulit terluar.
    Pada tahapan awal dalam proses pengawetan bambu, terlebih dahulu sampel bambu dikeringkan untuk menurunkan kadar air bambu sehingga dalam proses pengawetan akan mempermudah penyerapan zat yang terdapat pada boraks. Selain itu, proses pengeringan bambu dimaksudkan untuk menjaga stabilisasi dimensi bambu, perbaikan warna permukaan, juga untuk pelindung terhadap serangan jamur, bubuk basah dan memudahkan dalam pengerjaan lebih lanjut. Dalam pengeringan bambu dilaksanakan secara hati-hati, karena apabila dilaksanakan terlalu cepat (suhu tinggi dengan kelembaban rendah) atau suhu dan kelembaban yang terlalu berfluktuasi akan mengakibatkan bambu menjadi pecah, kulit mengelupas, dan kerusakan lainnya. Sebaliknya bila kondisi pengeringan yang terlalu lambat akan menyebabkan bambu menjadi lama mengering, bulukan dan warnanya tidak cerah atau menjadi gelap. Sehingga pada tahap ini, bambu dikeringkan dengan menggunakan oven selama kurang lebih 1 jam dengan kenaikan suhu yang bertahap hingga mencapai 600C.
    Selanjutnya pada proses pengawetan bambu dilakukan dengan cara manual dan tidak menggunakan proses fabrikasi. Dimana cara yang dilakukan masih sangat konvensional yaitu dengan cara perendaman yang dilakukan selama 1 jam sehingga tidak perlu menggunakan peralatan khusus yang membutuhkan peralatan yang menghasilkan polusi seperti mesin atau lain sebagainya. Selain itu boraks yang dijadikan larutan dalam perendaman ini juga terserap oleh bambu sehingga pada saat air rendaman itu dibuang kandungan boraks sudah sangat sedikit karena telah diserap oleh bambu.
    Berdasarakan hasil pengujian keawetan bambu menunjukkan hasil yang berbeda antara bambu yang telah diawetkan (T1, dan T2), yang dapat dilihat pada tabel 2 diamana absorbsi yang terdapat pada bambu (T2) dalam hal ini jumlah larutan bahan pengawet yang meresap kedalam bambu lebih besar jika dibandingkan dengan bambu (T1). Dengan demikian semakin banyak larutan bahan pengawet yang meresap kedalam bambu maka penggunaan masa pakai bambu lebih panjang.






    1. PENUTUP

  41. Kesimpulan
  42. Kesimpulan dari hasil pengamatan yang telah dilakukan pada praktikum pengawetan bambu menggunakan bahan pengawet boraks adalah bambu yang diberi bahan pengawet dengan kosentrasi larutan yang berbeda-beda mempunyai daya tahan terhadap serangan rayap tanah dibanding dengan bambu yang tidak memiliki bahan pengawet mudah di serang rayap dan kekuatan daya tahan terhadap serangan rayap sangat rendah. Semakin tinggi tingkat bahan pengawet yang di berikan mka semakin kuat daya ketahanan benda uji pada serangan rayap tanah.
  43. Saran
  44. Saran yang dapat disampaikan pada praktikum ini yaitu sebaiknya pengujian rayap untuk lebih lanjut untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal maka perlu dilkukan pengujian lain misalnya pengawetan menggunakan bahan pengawet alami.







    DAFTAR PUSTAKA


    Handru, A, Herwina, H, dan Dahelmi. 2012. Jenis-jenis Rayap (Isoptera) di Kawasan Hutan Bukit Tengah Pulau dan Areal Perkebunan Kelapa Sawit, Solok Selatan. Laboratorium Riset Taksonomi Hewan, Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas. Padang.

    Hidayati, Dyah Yoga. 2008. Pengaruh Pengawetan dengan CCB4 konsentrasi 5% , 10 % , 15 % terhadap Kekuatan Tarik, Lentur, Geser dan Kadar Air Bambu Legi. Tugas Akhir pada Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan UGM.

    Krisdianto, G. Sumarni dan A. Ismanto. 2000. Sari Hasil Penelitian Bambu. Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

    Liese, W & Satish, K., (2003), Bamboo Preservation Compendium, Indian Bamboo Resource and Technology

    Pathurahman. (1998), Aplikasi Bambu pada Struktur Gable Frame. Fakultas Teknik, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

    Setyawati, P., (2008), Pengaruh Ekstrak Tembakau Terhadap Sifat dan Perilaku Mekanik Laminasi Bambu, Tesis, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

    Subekti, N., 2012. Biodeteriorasi kayu pinus (Pinus merkusii) oleh rayap tanah Macrotermes gilvus Hagen (Blattodea: Termitidae). Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Negeri Semarang. Semarang.
    Supriadi, D., (2001), Ketersediaan Bambu sebagai Bahan Baku Industri dan Kerajinan, Seminar Meningkatkan Nilai Komersial Bambu dan Potensi Pasokannya. 34 Tahun LIPI, Jakarta.

    Wijaya, Florentinus Rendriarta. 2003. Pengaruh Pengawetan dengan Metode Perendaman dalam Larutan Prusi terhadap Karakteristik Bambu Ampel (Bambusa vulgaris Schrad ). Tugas Akhir pada Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan UGM.

    Yuliana, Tri. 2002. Analisa Kadar Boraks dalam Mie Basah dan Mie Kering dengan Indikator Kurkumin Menggunakan Analisa Volumetri. Skripsi tidak diterbitkan. FMIPA, UNNES, Semarang.

    Yuliana, Tri. 2002. Analisa Kadar Boraks dalam Mie Basah dan Mie Kering dengan Indikator Kurkumin Menggunakan Analisa Volumetri. Skripsi tidak diterbitkan. FMIPA, UNNES, Semarang.



0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda